METRO PATI

Tradisi Meron Sukolilo Memiliki Khas Corak Budaya Religius  

Dok/NM. Gunungan menjadi ciri khas tradisi Meron Sukolilo merupakan lambang kedamaian.

SUKOLILO NEWS METRO.CO – Tradisi Meron yang diadakan di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati, merupakan salah satu bentuk tradisi yang unik. Meron   yang dilaksanakan di Desa Sukolilo Kecamatan Sukolilo   ini merupakan tradisi tahunan yang mengikuti grebeg Sekatenan di Keraton Surakarta dan Keraton Yogjakarta.  Tradisi ini di adakan pada tanggal 12 Robiul Awal, bertepatan dengan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.  Bedanya  tradisi ini memiliki khas corak budaya daerah lokal yang di ikuti oleh masyarakat Sukolilo pada perayaan merhon yang diselenggarakan  hari Senin (11/11/2019).

Umumnya masyarakat memiliki persepsi yang positif terhadap keberadaan tradisi Meronan di Desa Sukolilo. Tradisi ini unik karena mengandung kegiatan serimonial dan memiliki kekuatan magis religius.  Selain memiliki kekuatan magis juga dapat dijadikan sebagai sarana hiburan dan tontonan yang menarik bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Pati dan sekitarnya.

Dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad masyarakat Desa Sukolilo mengenal tiga perayaan yang dilangsungkan, yaitu keramaian Meron (pasar malam), pembuatan meronan dan upacara tradisi Meronan. Perayaann keramaian Meron biasanya diadakan pasar malam yang diadakan seminggu sebelum diadakan upacara tradisi Meron.

Meron diartikan gunung karena bentuknya seperti gunungan. Sedangkan dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari kata Merong yang berarti perang. Karena Meron diadakan dalam situasi perang.  Selain itu, merhon diartikan “emper” (serambi) karena sebelum diarak, dipajang di emper rumah kediaman pemiliknya.

Foto/NM. Upacara ritual meron para perangakat desa Sukolilo di halaman Masjid Agung Sukolilo

Meron diadakan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi budaya masyarakat secara turun temurun dalam memperingati kelahiran Nabi Agung Muhammad S.A.W. dan sebagai wahana untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu upacara Tradisi Meron diadakan untuk mewujudkan rasa syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat karunia dan rizqi bagi masyarakat. Sebagai bentuk promosi pariwisata khususnya wisata ritual bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Pati.

Menurut empunya cerita para sesepuh masyarakat desa Sukolilo saat mengikuti acara perayaan meron menjelaskan, “Pengertian meron  diambil dari bahasa Kawi   “meru, berarti gunung yang menjadi ikonik pada perayaan tradisi ini. Meron dari Basa Jawa Kuno “Merong, berarti mengamuk, artinya tradisi ini memperingati peristiwa perang Mataram-Pati,”katanya.

Meron menurut basa Jawi Kuno “Emper, gunungan di pamerkan di emper (Serambi) rumah pada   para perangkat desa. Meron dari Bahasa Arab : Mi’roj, berarti meninggi (Gunungan yang meninggi). Meron dari Kerata Basa : Me-ron, Rame Tiron-tiron, berarti tradisi ini mengikuti tradisi yang sudah ada,”jelasnya.

Maksud dan tujuan upacara   penyelenggaraan tradisi  untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad.  Selain itu,  Meron juga ditujukan oleh orang Sukolilo selain untuk memperingati hari sedekah bumi, juga dipadukan dengan acara peringatan kematian (Haul) Pendowo Limo (tokoh pendiri Desa Sukolilo),”ungkapnya.

BACA JUGA  Bupati Pati  Kembali Menyerahkan Bantuan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh

Proses rangkaian pembuatan meron meliputi pembuatan ancak, mustaka, dan umbul-umbul. Persiapan pembuatan meron ini memakan waktu sekitar 36 hari. Kemudian  seminggu sebelum perayaan, hiasan berupa ayam jago dan Mushalla( tergantung mana yang dibuat menurut adat) baru akan dibuat. Selanjutnya aksesoris seperti kertas, umbul-umbul, janur dan sebagainya dibuat pada siang hari saat masuk proses malam tirakatan,”ujarnya.

Dalam perkembangannya pada saat-saat tirakatan ini muncul acara Ulan-ulan dan pawai yang dilaksanakan setelah waktu maghrib dengan arak-arakan Barongan, Barong-sai,  Naga Liong, atau sekedar mengarak boneka besar dengan musik-musik dangdut sepanjang jalan yang nantinya digunakan rute untuk mengarak Meron.

Tradisi  Meron muncul dimulai sekitar awal abad ke-17 Pasca Pasukan Mataram menyerang Kabupaten Pati. Pasukan yang dipimpin oleh Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among, Kanjeng Tumenggung Raja Meladi, Kanjeng Raden Tumenggung Candang Lawe, dan Kanjeng Raden Tumenggung Samirono gagal mengalahkan Adipati Pragola I. Sehingga pasukan ini melakukan perjalanan pulang dari Pati ke Mataram.

Rute pasukan ini melewati Desa Sukolilo yang berada di Lereng Gunung Kendeng, Pegunungan Kapur utara. Daerah Sukolilo adalah kampung halaman dari seorang Juru Srati gajah Kerajaan Mataram bernama Raden Ngabei Suro Kadam. Ketika perang Mataram-Pati berlangsung, Suro Kadam ditugasi oleh Panembahan Senapati sebagai Juru Telik Sandi karena ia adalah orang pribumi Sukolilo yang termasuk dalam wilayah Pati bagian Selatan.

Pasukan Mataram menetap di Desa Sukolilo pasca meninggalnya Adipati Pragola I tahun 1600 (alasan meninggalnya belum ada kejelasan bukti). Pasukan ini menetap di Sukolilo untuk berjaga-jaga jika nantinya Pati melakukan serangan balasan pada Mataram. Pemerintahan Sukolilo pada saat itu berbentuk Kademangan dibawah Adipati Pragola I yang di pegang oleh Suro Kerto, Adik dari Raden Ngabei Suro Kadam. Suro Kerto mengijinkan Pasukan Mataram untuk menetap di Sukolilo, Bahkan hingga Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among wafat di Desa tersebut.

Pasukan Mataram menetap pada sekitar bulan Maulid. Pada Tanggal 12 Maulid tahun Saka tersebut di keraton Mataram sedang melaksanakan prosesi Sekaten yang diperingati setiap setahun sekali. Pasukan Mataram yang juga memiliki trah Kusuma keraton merasa harus melakukan Sekatenan. Pihak keluarga Dalem keraton Mataram  dipegang oleh Raja   Hanyakrawati – mengijinkan perayaan serupa Sekatenan, meskipun pelaksanaannya adalah sehari setelah Sekatenan.

Prosesi Meron pertama kali yang dilaksanakan  di Sukolilo  oleh pasukan Mataram memiliki perbedaan yang khas dari Prosesi Sekatenan. Meskipun tujuannya sama, tetapi Mataram memiliki fasilitas untuk memenuhi Prosesi Sekatenan. Pada dasarnya Sekaten dilaksanakan dengan pawai gunungan yang berisi makanan-makanan khas Mataram dan dengan pawai Pusaka keraton termasuk hewan yang di keramatkan oleh keraton.

BACA JUGA  Satpol PP Pati Sosialisasikan Pemberantasan Cukai Tembakau Ilegal

Tetapi Meron berbeda, dengan menggunakan Rencek/Oncek yang disusun meninggi. Rencek adalah sejenis Karak (Nasi yang dikeringkan)  dan dibuat memanjang seperti Pita, dengan disatukan menggunakan tali. Pelaksanaan Tradisi meron di Sukolilo menganut tahun Aboge (Rebowage) sehingga kebanyakan dilaksanakan pada tanggal 13 Rabiul Awal atau sehari setelah pelaksanaan sekatenan di Kasultanan Mataram.

Foto/NM. Upacara ritual meron para perangakat desa Sukolilo di halaman Masjid Agung Sukolilo

Sejarah Asal usul nama Sukolilo berasal dari dua kosakata Suko berarti senang dan Lilo yang berarti ikhlas.  Namun Desa Sukolilo sering dihubungkan dengan legenda Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Pada saat itu Ki Ageng Pemanahan sedang mencari kakak seperguruannya Ki Ageng Giring. Setelah sampai, Ki Ageng Pemanahan dijamu oleh Nyai Ageng Giring (istri Ki Ageng Giring).

Singkat cerita, Ki Ageng Pemanahan diberi jamuan air kelapa oleh Nyai Ageng Giring. Saat mengetahui hal tersebut Ki Ageng Giring marah kepada Nyai Ageng. Ternyara air kelapa yang diminum oleh Ki Ageng Pemanahan memiliki petuah, niscaya siapapun yang meminum air kelapa tersebut akan melahirkan raja-raja ditanah Jawa.

Ki Ageng Giring meminta kepada Ki Ageng Pemanahan untuk menjadikan agar kelak merelakan anaknya (Ki Ageng Giring) menjadi raja pada keturunan ketiga. Mendengar permintaan tersebut Ki Ageng Pemanahan menolak dan melanjutkan negosiasi, hingga menghasilkan kesepakatan kelak pada keturunan ketujuh menjadi raja ditanah Jawa.

Talang Tumenggung merupakan saksi ucapan Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, hingga menjadi nama “Sukolilo”. Meron merupakan tradisi yang ada di Desa Sukolilo. Meron merupakan tiruan adat Sekatenan menyambut Maulid Nabi Muhammad S.A.W di Mataram atau Yogyakarta. Sejarah Tradisi Meron berawal dari Desa Sukolilo yang merupakan Kademangan dibawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan.

Usai perang Kesultanan Mataram menumpas perlawanan Adipati Pati, sekitar tahun 1600 sisa-sisa prajurit Mataram yang bertugas di Kademangan Sukolilo tidak pulang ke Mataram namun mesanggrah (beristirahat) di Kademangan Sukolilo.

Para prajurit ingat setiap tanggal 12 Maulud di Mataram menyelenggarakan upacara Sekaten menyambut Maulid Nabi S.A.W. Para prajurit ijin untuk tidak pulang dengan alasan berjaga-jaga agar tidak terjadi pembangkangan, dan juga menyampaikan permohonan untuk menyelenggarakan upacara Sekatenan di Sukolilo.

Berkat ijin tersebut Kademangan Sukolilo diperkenankan mengadakan upacara serupa (Sekaten) setiap tahunnya di Sukolilo. Namun tidak lagi menggunakan nama Sekaten tetapi menjadi Meron. Tradisi ini setiap tahunnya dilestarikan oleh masyarakat Sukolilo hingga sekarang. (tim NM/Pati)

 

 

Loading

Redaksi

ADMIN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *