GROBOGANHOT NEWS

Melihat Lebih Dekat Cara Unik Pembuatan Garam Langka Khas Desa Jono Tawangharjo Grobogan

48 Views
GB.Petani mengecek kristal-kristal garam di dalam klakah di Desa Jono, Tawangharjo, Grobogan, minggu (3/10/2021).

GROBOGAN.NEWSMETRO.CO – Warga di Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, punya cara unik dan langka dalam mengolah garam. Sepintas tidak ada yang membedakan Desa Jono, dengan kondisi geografis desa lainnya.

Ajaibnya, Desa Jono yang Jauh dari Laut, terkenal sebagai sentra pembuatan garam. Jika biasanya garam diolah dari air laut, beda dengan warga Desa Jono,  justru mengolah garam dari air sumur yang jauh dari laut. Penasaran bukan?

Namun, saat tim menyambangi Desa Jono di seantero Kabupaten Grobogan, sudah dikenal sebagai sentra pembuatan garam. Sumber mata air setempat berasa asin sehingga oleh warga dimanfaatkan untuk menciptakan garam.

Meski hanya ada satu lokasi yang khusus dijadikan obyek untuk membuat garam di Desa Jono, keberadaan para petani garam di kawasan ini mengundang tanda tanya besar karena lokasi Kabupaten Grobogan berlokasi jauh dari lautan.

GB. Wawancara dengan petani garam cara proses membuat garam desa Jono minggu 3/10

Siang itu, terik matahari begitu menyengat kulit, di hamparan kosong yang luas itu sejumlah petani garam sedang meracik garam.  Ada puluhan petak tanah yang masing-masing berisi satu keluarga petani garam dengan proses produksinya. Satu petak milik masing-masing  berukuran sekitar 80 meter x 6 meter.

Proses untuk menciptakan garam di Desa Jono dilakukan secara tradisional dengan peralatan seadanya. Uniknya, pasokan air asin sebagai bahan utama pembuatan garam diperoleh dari beberapa sumur yang sudah tersedia di lokasi tersebut.

Semula muncul beberapa titik sumber mata air asin di satu lokasi itu hingga akhirnya dibuatkan sumur sebagai wadah. Selain berasa asin, air sumber itu juga panas mendidih.  Air asin dari sumur kemudian dialirkan melalui pipa menuju sebuah bak penampungan yang dibuat seperti kolam.

Air dari bak penampungan itu selanjutnya ditimba dan diisikan ke dalam klakah (batang bambu yang dibelah menjadi dua). Klakah-klakah yang sudah terisi air selanjutnya dijemur di bawah terik matahari hingga membentuk kristal-kristal garam. Proses pembuatan garam hingga pengeringannya membutuhkan waktu 10 hari saat musim kemarau, atau bisa sampai 15 hari kalau musim penghujan.

Belum ada sejarah pasti yang menyebutkan kapan pembuatan garam berlangsung di Desa Jono. Meski demikian, warga meyakini pembuatan garam yang turun temurun itu sudah ada sejak ratusan tahun silam. Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, kemunculan sumber mata air asin dan panas di Desa Jono erat kaitannya dengan legenda “Jaka Linglung”.

Konon, sumber mata air itu terbentuk akibat menyembulnya Jaka Linglung dari dalam bumi. Sumber mata air itu berhubungan dengan lubang jalan pulang Jaka Linglung dari laut selatan menuju Kerajaan Medang Kamulan setelah berhasil mengalahkan Prabu Dewata Cengkar.

BACA JUGA  Pasangan Sri-Bambang Mendaftar ke KPU Grobogan, Naik Delman Pendukungnya Naik Becak

Jaka Linglung yang merupakan putra Ajisaka diutusnya membunuh Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya putih di Laut Selatan. Dalam perjalanan itu, Jaka Linglung berjalan di perut bumi dengan menjelma menjadi seekor ular naga. “Jaka Linglung keluar dari dalam tanah dan beristirahat sejenak di Desa Jono.

Nah, di situlah muncul sumber mata air yang kemudian dibuat sumur dan dimanfaatkan untuk membuat garam. Pembuatan garam sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Dulu tahun 1960 an, jumlah petani garam ada ratusan orang, sekarang hanya tersisa 50 keluarga,” kata salah satu petani garam Desa Jono, ketika disambangii, di tempat kerjanya, Minggu (3/10/) sore.

GB.Petani garam Desa Jono, saat di perankan tim investigasi mengisi klakah dengan air sumur yang telah ditampung, minggu (3/10) siang.

Kualitas garam yang dihasilkan dari Desa Jono berbeda dengan garam yang dihasilkan melalui proses pengeringan air laut. Kualitas garam Jono selain asin juga sangat gurih. Garam Jono bersodium alami jika dikonsumsi juga tidak terasa getir.

Sekali panen, petani garam Desa Jono bisa menghasilkan 60 kilogram garam. ” Untuk harga biasanya Rp 10.000 per kilogram. Saat ini, karena ada kenaikan menjadi Rp 15.000 per kilogram,” kata petani paruh baya. Per minggu rata-rata petani garam Desa Jono bisa menghasilkan Rp,400.000 (empat ratus ribu rupiah),akunya kepada tim.

Petani garam berharap kepada pemerintah supaya sudi memperhatikan keberlangsungan nasib mereka menyusul sangat minim generasi muda yang bergairah meneruskan usaha menciptakan garam. Setidaknya ada bantuan alat-alat modern untuk membuat garam.

Kepala Desa Jono Eka Winarna, menjelaskan, sudah ada peneliti melakukan riset soal kandungan air asin di Desa Jono. Secara ilmiah, sumber mata air berasa asin karena faktor alami dampak dari pegunungan Kendeng. Eka mengatakan, Grobogan itu dikelilingi pegunungan Kendeng yang merupakan gunung kapur yang mengandung banyak mineral, termasuk di antaranya ion Na, Ca, K, Mg, S, Cl dan sebagainya.

“Air hujan yang turun di wilayah Kendeng meresap ke dalam tanah mengalir membentuk jalur mata air. Karena airnya banyak mengandung mineral sehingga rasanya asin. Penyebab asin adalah NaCl. Di dalam membentuk aliran mata air, ada jalur yang bertemu dengan jalur mata air resapan hujan yang tak berasal dari daerah bukan Kendeng,” ungkap Eka.

Kemarau panjang yang terjadi tidak selamanya membuat kesulitan bagi perajin garam bambu Desa Jono. Kemarau panjang ini menjadi cuaca yang menguntungkan karena meningkatkan produksi garam hingga 50% dibanding biasanya.

BACA JUGA  Kehadiran Satpas Pembantu 1221, Disambut Gembira Warga Cinere Dan Sekitarnya  

Cuaca panas dengan suhu mencapai 32 derajat celcius membuat keringat bercucuran, perajin garam bambu di Desa Jono,  tetap bertahan di atas bilahan bambu, terus mengisi satu demi satu ruas bambu dengan air sumur mengandung garam tinggi.

  1. Petani garam sedang mengisi bambu dengan air asin, matanya yang tajam memandang hamparan bambu yang sudah mulai penuh dengan air.

Cara pembuatan garam di Desa Jono ini berbeda dengan umumnya di kawasan pantura yang memasukan air laut ke ladang garam, tetapi menggunakan air sumur yang ditampung di bilahan bambu kemudian dijemur selama beberapa hari hingga membentuk kristal garam. “Sejarah sudah ratusan tahun dan dikerjakan secara turun temurun, tapi di desa ini memang unik meskipun jauh dari laut tapi air sumur terasa asin.

Namun, garam yang bersumber dari air sumur ini mempunyai pembeda dengan garam laut baik rasa, warna maupun butiran. “Di sini lebih putih dan halus juga rasanya tidak terlalu asin. Pada kondisi normal, untuk menjadikan air sumur yang ditampung dalam bilahan bambu menjadi garam rata-rata 15 hari. Tetapi pada musim kemarau ini dengan suhu yang cukup panas hanya membutuhkan waktu sekitar 10 hari sudah menjadi garam dan siap panen.

Salah seorang petani garam Desa Jono, mengatakan dengan kondisi kemarau seperti sekarang ini pembuatan garam bambu ini lebih cepat, sehingga para petani garam diuntungkan karena mampu berproduksi lebih besar sekitar 80-100 kilogram per panen.

Keuntugan lain dari produksi garam bambu ini adalah produksi bleng, bahan untuk campuran pembuatan krupuk gendar (krupuk dari nasi/beras). Bleng dihasilkan dari sisa air di bilahan bambu yang mengendap dan dapat dijual Rp15.000 per botol berisi satu liter.

Kepala Desa Jono, Eka Winarna, mengatakan garam dari desa ini sudah lama cukup dikenal dan harganya lebih mahal dari garam umumnya karena tekstur, rasa dan butirannya berbeda. “Garam produksi Desa Jono ini lebih gurih tidak hanya asin,” ungkap Eka.

Saat  melihat garam Desa Jono tidak hanya dari rasa, tetapi cukup unik karena diproduksi dengan wahana bilahan bambu dan menarik, sehingga dapat menjadi daya tarik wisatawan karena belum tentu dapat ditemukan di daerah lain.

GB.Hasil garam yang diperoleh melalui klakah bambu selama 10 hari

Lahan yang terbatas ini juga dapat dikembangkan, sehingga produksi garam di sini juga meningkat dan petani semakin sejahtera. Kegiatan pembuatan garam ini menarik bagi wisatawan,  memiliki cita rasa yang berbeda sehingga bisa dijadikan  oleh-oleh.  (tim NM/Grobogan).

 

 

 

 

Redaksi

ADMIN